SEKOLAH ADIWIYATA
Selasa, 12 Januari 2016
Sabtu, 04 Juli 2015
Mencari Teknologi Ramah Lingkungan(3)
(SERI 3)
Transportasi
Alat
transportasi paling ramah lingkungan tentu saja adalah sepeda! Sudah
banyak dikembangkan sepeda yang sangat efisien dari sisi energi, bahkan
ada yang memiliki solar panel untuk menyerap energi matahari. Sepeda
semacam ini dapat digunakan menempuh jarak ribuan kilometer.
Untuk
beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati
sebenarnya juga ramah lingkungan. Namun untuk jarak jauh dan beban
raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan. Listriknya
bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi
atau sejenisnya. Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan
dibanding mobil pribadi. Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei
listrik. Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei
berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti
dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.
Untuk
transportasi individual bermesin, mobil listrik lebih ramah lingkungan
dibanding mobil biasa. Masalahnya, kapasitas baterei dalam menyimpan
energi saat ini masih belum sebanyak bensin pada berat yang sama. Nilai
optimal baterei ini baru akan tercapai kalau menggunakan sel bahan bakar
(fuel-cell), di mana energi disimpan dalam air yang dipisahkan
(elektrolisa) ke hidrogen dan oksigen. Reaksi hidrogen-oksigen akan
menghasilkan energi sangat besar dengan limbah kembali berupa air.
Namun teknologi fuel cell saat ini masih sangat mahal (belum layak
pasar).
Saat
ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah
sakit. Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid
(misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin. Saat
macet, mesin listrik yang bekerja. Saat kecepatan optimal, mesin bensin
akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai
untuk mengisi baterei.
Pada
level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan
biasa. Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan
pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan “3-liter-cars” –
mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km.
Di
laut juga dikembangkan kapal modern yang lebih ramah lingkungan, yakni
yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis! Layar ini dapat
dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan.
Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%.
Teknologi
energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini
paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal.
kapal modern dengan layar mekanis
Informasi dan Komunikasi
Komunikasi
elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan
tepat. Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti
hemat energi. Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless)
sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.
Teknologi
kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor
informasi. Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit.
Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang
putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur
ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan
32 jenis baru kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan kertas
daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%. Upaya ini sudah membuat
edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu
pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.
Kesimpulan
Dengan
demikian, bila ada kemauan kuat, sebenarnya banyak yang sudah dapat
dilakukan oleh negara ataupun masyarakat negara berkembang untuk
menjadikan negeri mereka lebih ramah lingkungan, tanpa harus menunggu
belas kasihan atau hutang transfer teknologi dari negara-negara maju,
yang umumnya dikaitkan beberapa syarat politis, syarat-syarat yang
bernuansa penjajahan.
Teknologi
yang dipatenkan oleh industri di negara maju pun, setelah 20 tahun akan
habis patennya, dan dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut oleh
siapapun. Para ilmuwan, peneliti dan insinyur negara-negara berkembang
harus lebih proaktif, kreatif dan tidak pasrah pada situasi, atau justru
malah bangga sekedar menjadi karyawan atau buruh murah bagi industri
dari negara-negara maju.
Jadi
tak benar bila semuanya urusan bisnis. Masalah transfer teknologi
adalah soal kegigihan negara berkembang untuk merebut teknologi serta
niat baik negara maju untuk berbagi.
Sabtu, 20 Juni 2015
Minggu, 03 Mei 2015
Mencari Teknologi Ramah Lingkungan (2)
(SERI 2)
Energi
Energi
Energi
matahari adalah energi yang terramah lingkungan. Dibanding dengan
mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah
lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak
membuat kesan kumuh. Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan
menjemur air. Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu
solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sebenarnya
sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas,
terutama untuk dunia perhotelan.
Dengan
sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat
penerangan maupun pendingin udara. Apalagi jika gaya pakaian kita
menyesuaikan. Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah:
untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan,
kita setel AC yang “sedingin kutub”, seakan kita memelihara pinguin di
sana. Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis
seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai
berupa T-shirt berkerah!
Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house
yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal. Dinding luar
berselimut tanaman rambat. Atap berlapis solar panel. Aliran air dan
udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai
mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan
gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur. Rumah sakit di Berlin Jerman yang berselimut tanaman.
Indikator solar cell pada sebuah kantor di Kobe, Jepang. Solar cell mengirim 0,59 KW/m2
Dulu,
energi nuklir pernah dipandang sebagai energi ramah lingkungan, karena
tidak menghasilkan emisi. Namun pendapat ini kini telah berubah. PLTN
mensisakan masalah transportasi bahan nuklir dan tempat pembuangan
limbah akhir yang sangat berresiko tinggi bagi lingkungan.
Yang
kini digalakkan adalah teknologi biofuel dengan primadona micro-algae
yang berpotensi menghasilkan 58.000 liter minyak/hektar (10x sawit).
Sayang teknologinya masih disimpan negara maju, padahal Indonesia yang
tropis dan banyak laut sangat berpotensi mengembangkannya.
Rabu, 22 April 2015
Selasa, 21 April 2015
Mencari Teknologi Ramah Lingkungan
(SERI 1)
Salah
satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember
2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer
teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi
mencegah pemanasan global. Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan
itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya
telah dilindungi dengan hak paten. Karena itu, urusan transfer teknologi
adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.
Pertanyaannya
kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu
urusan bisnis?
Teknologi
ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah
segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya
dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah. Sebelum kesadaran
ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi. Teknologi yang diterapkan
adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun
sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai
mahal. Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan
dengan harga yang wajar. Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup
atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang? Sebuah
mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara
ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih
murah. Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh
mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.
Secara
umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya
lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu
juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun
radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh
teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:
Pangan
Pola
konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian. Dari bahan nabati
yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat
nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu
dikonsumsi dagingnya.
Dapur
modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya
lebih ramah lingkungan. Demikian juga lemari pendingin yang bebas
CFC. CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir.
Masalah
pangan juga terkait erat dengan sampah. Makanan kemasan memang praktis,
tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing. Namun banyak kemasan yang
sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Saat
ini sampah terbesar memang dari sektor pangan. Teknologi pengolah sampah,
baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan
ketika volume sampah makin besar. Namun tentu lebih baik jika sampah ini
dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang.
Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang
lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi
termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan
kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak
dalam waktu yang lebih singkat. Namun berbagai manipulasi transgenik
membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka
panjang tidak ramah lingkungan. BERSAMBUNG......
(Dr. Fahmi Amhar, Peneliti
Utama Bakosurtanal)
Senin, 13 April 2015
Mencegah Pemanasan Global
Tanggal
3 hingga 14 Desember 2007 akan berlangsung konvensi / Pertemuan antar
pihak (Conference of Parties / Meeting of Parties) tingkat tinggi di
Bali yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Pertemuan ini diharapkan dapat mengevaluasi Protokol Kyoto yang dibuat
tahun 1997, yang ditandatangani untuk mengurangi kadar CO2 guna mencegah
pemanasan global. Fenomena ini tidak bisa dilihat sesaat atau semusim
saja, tetapi harus dalam jangka yang lama, berpuluh tahun atau bahkan
berabad-abad.
Cuaca
adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Sedang tren
jangka panjang disebut iklim. Ketika tren ini berubah maka kita bicara
tentang perubahan iklim. Pada skala global, ini disebut Global Climate Change.
Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini. Efek ini
diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai
dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun
sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak
terperangkap di atmosfir. Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan
di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect)
dan CO2 disebut juga ”gas rumah kaca” (Greenhouse-Gas/GHG). Dan karena
efeknya memanaskan secara global, maka disebut ”global warming”.
Karena
memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih
berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming. Ada yang
menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas
lautan secara alami.
Namun
mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri. Masalahnya, salah
iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Kalau kemarau panjang
terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang
sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan. Karena itu memang
pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal
itu. Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi.
Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan.
Namun
di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun.
Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya
ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya. Sistem ini juga
harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang
berbasis satelit. Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini
memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang
dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan
beras impor atau justifikasi kebakaran hutan – yang sebenarnya telah
disengaja.
Sejak
masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun
terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75° C. Yang mencolok, setelah 1950,
tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25° C per
dekade untuk daratan dan 0,13° C per dekade untuk lautan.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global diduga keras akan berpengaruh dalam bentuk sebagai berikut:
- Es di kutub dan gunung-gunung tinggi mencair. Menurut perhitungan, hal ini menaikkan paras laut setinggi hingga 5 – 7 meter! Tentu saja kenaikan paras laut rata-rata ini harus diukur dari stasiun pasang surut yang stabil, tidak terjadi gempa atau penurunan muka tanah (land-subsidence).
- Kalau air laut naik, maka dataran rendah akan tergenang. Daerah pantai atau dataran rendah yang produktif di bawah level tertentu akan hilang. Pulau-pulau kecil yang rendah juga akan dihapus dari peta. Dataran rendah ini hilang karena muka air laut naik, bukan hanya karena digerus abrasi atau diambil pasirnya.
- Bila daratan yang hilang ini merupakan acuan dari ”pagar batas” suatu negeri, maka batas negeri itu bisa kembali menjadi persengketaan mengingat batas alamnya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
- Perubahan sirkulasi plankton dan otomatis perubahan sebaran ikan yang pada akhirnya pada persediaan sumber pangan dari laut. Nasib jutaan nelayan atau petani tambak ada di ujung tanduk.
- Perubahan vegetasi. Daerah yang kini beriklim sedang akan menjadi lebih hangat sehingga dapat menanam tanaman tropis. Sementara itu daerah yang sekarang sudah hangat seperti di Indonesia, dapat berubah menjadi gurun!
- Perubahan pola penyakit, akibat beberapa virus atau bakteria yang dulu hanya ada di daerah tropis (seperti malaria, DBD dan sejenisnya) akan melanda daerah beriklim sedang. Bila para pekerja kesehatan di sana tidak akrab dengan penyakit tropis seperti itu, maka akan timbul pandemi yang sangat ganas.
Sumber Gas Rumah Kaca
Hingga
saat ini dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak
meratifikasi protokol Kyoto, walau dengan alasan yang berbeda. China
berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara
industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China
untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang AS memang kurang
berminat menurunkan tingkat penggunaan energi fossilnya, terutama di
bidang transportasi. Namun isu yang saat ini beredar justru bahwa
sumber gas rumah kaca ini dunia Islam akibat pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali karena penolakan terhadap program Keluarga Berencana
(KB).
Faktanya,
selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia.
Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia
dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari
seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Selama
ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik
untuk industri maupun transportasi). AS menghembuskan hampir 6500 Mega
Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi. Sebagai pembanding,
Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen,
meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS. Namun
karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau
tidak, Indonesia “menyumbang” CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.
Negara-negara
maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara
finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan
iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk
melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan
data Greenhouse gas-inventory.
Namun
setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin
sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi,
yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8)
sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di
dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global;
dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup.
Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh
politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak
meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka
semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran
ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang
baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal.
Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang
Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem
alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi
kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah).
Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan
mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari
sisi demand maupun supply.
Dari
sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya,
gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak
energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya.
Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka
sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk
mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro
yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk
transportasi, penerangan atau penyejuk udara. Secara teknologi,
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menekan
kebutuhan transportasi cukup signifikan, karena akan banyak hal dapat
dilakukan secara jarak jauh (misalnya tele-conference, tele-working,
dsb).
Sedang
dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya
dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi
angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi
ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang
surut, panas bumi (geothermal) hingga energi nuklir dapat membantu
menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya
mengantisipasi pemanasan global.
Di
sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus
digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Dalam 12
tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau
sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola
lenyap setiap menit! Di level bawah, para aktivis dakwah perlu
mengingatkan ummat pada hadits Nabi yang berbunyi kira-kira, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”, dan di hadits lain, “Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya”. (Dr. Fahmi Amhar, Peneliti Utama Bakosurtanal)
Langganan:
Postingan (Atom)