Tanggal
3 hingga 14 Desember 2007 akan berlangsung konvensi / Pertemuan antar
pihak (Conference of Parties / Meeting of Parties) tingkat tinggi di
Bali yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Pertemuan ini diharapkan dapat mengevaluasi Protokol Kyoto yang dibuat
tahun 1997, yang ditandatangani untuk mengurangi kadar CO2 guna mencegah
pemanasan global. Fenomena ini tidak bisa dilihat sesaat atau semusim
saja, tetapi harus dalam jangka yang lama, berpuluh tahun atau bahkan
berabad-abad.
Cuaca
adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Sedang tren
jangka panjang disebut iklim. Ketika tren ini berubah maka kita bicara
tentang perubahan iklim. Pada skala global, ini disebut Global Climate Change.
Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini. Efek ini
diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai
dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun
sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak
terperangkap di atmosfir. Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan
di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect)
dan CO2 disebut juga ”gas rumah kaca” (Greenhouse-Gas/GHG). Dan karena
efeknya memanaskan secara global, maka disebut ”global warming”.
Karena
memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih
berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming. Ada yang
menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas
lautan secara alami.
Namun
mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri. Masalahnya, salah
iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Kalau kemarau panjang
terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang
sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan. Karena itu memang
pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal
itu. Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi.
Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan.
Namun
di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun.
Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya
ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya. Sistem ini juga
harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang
berbasis satelit. Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini
memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang
dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan
beras impor atau justifikasi kebakaran hutan – yang sebenarnya telah
disengaja.
Sejak
masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun
terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75° C. Yang mencolok, setelah 1950,
tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25° C per
dekade untuk daratan dan 0,13° C per dekade untuk lautan.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global diduga keras akan berpengaruh dalam bentuk sebagai berikut:
- Es di kutub dan gunung-gunung tinggi mencair. Menurut perhitungan, hal ini menaikkan paras laut setinggi hingga 5 – 7 meter! Tentu saja kenaikan paras laut rata-rata ini harus diukur dari stasiun pasang surut yang stabil, tidak terjadi gempa atau penurunan muka tanah (land-subsidence).
- Kalau air laut naik, maka dataran rendah akan tergenang. Daerah pantai atau dataran rendah yang produktif di bawah level tertentu akan hilang. Pulau-pulau kecil yang rendah juga akan dihapus dari peta. Dataran rendah ini hilang karena muka air laut naik, bukan hanya karena digerus abrasi atau diambil pasirnya.
- Bila daratan yang hilang ini merupakan acuan dari ”pagar batas” suatu negeri, maka batas negeri itu bisa kembali menjadi persengketaan mengingat batas alamnya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
- Perubahan sirkulasi plankton dan otomatis perubahan sebaran ikan yang pada akhirnya pada persediaan sumber pangan dari laut. Nasib jutaan nelayan atau petani tambak ada di ujung tanduk.
- Perubahan vegetasi. Daerah yang kini beriklim sedang akan menjadi lebih hangat sehingga dapat menanam tanaman tropis. Sementara itu daerah yang sekarang sudah hangat seperti di Indonesia, dapat berubah menjadi gurun!
- Perubahan pola penyakit, akibat beberapa virus atau bakteria yang dulu hanya ada di daerah tropis (seperti malaria, DBD dan sejenisnya) akan melanda daerah beriklim sedang. Bila para pekerja kesehatan di sana tidak akrab dengan penyakit tropis seperti itu, maka akan timbul pandemi yang sangat ganas.
Sumber Gas Rumah Kaca
Hingga
saat ini dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak
meratifikasi protokol Kyoto, walau dengan alasan yang berbeda. China
berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara
industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China
untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang AS memang kurang
berminat menurunkan tingkat penggunaan energi fossilnya, terutama di
bidang transportasi. Namun isu yang saat ini beredar justru bahwa
sumber gas rumah kaca ini dunia Islam akibat pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali karena penolakan terhadap program Keluarga Berencana
(KB).
Faktanya,
selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia.
Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia
dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari
seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Selama
ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik
untuk industri maupun transportasi). AS menghembuskan hampir 6500 Mega
Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi. Sebagai pembanding,
Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen,
meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS. Namun
karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau
tidak, Indonesia “menyumbang” CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.
Negara-negara
maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara
finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan
iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk
melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan
data Greenhouse gas-inventory.
Namun
setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin
sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi,
yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8)
sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di
dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global;
dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup.
Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh
politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak
meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka
semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran
ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang
baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal.
Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang
Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem
alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi
kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah).
Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan
mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari
sisi demand maupun supply.
Dari
sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya,
gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak
energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya.
Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka
sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk
mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro
yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk
transportasi, penerangan atau penyejuk udara. Secara teknologi,
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menekan
kebutuhan transportasi cukup signifikan, karena akan banyak hal dapat
dilakukan secara jarak jauh (misalnya tele-conference, tele-working,
dsb).
Sedang
dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya
dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi
angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi
ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang
surut, panas bumi (geothermal) hingga energi nuklir dapat membantu
menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya
mengantisipasi pemanasan global.
Di
sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus
digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Dalam 12
tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau
sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola
lenyap setiap menit! Di level bawah, para aktivis dakwah perlu
mengingatkan ummat pada hadits Nabi yang berbunyi kira-kira, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”, dan di hadits lain, “Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya”. (Dr. Fahmi Amhar, Peneliti Utama Bakosurtanal)